Site Network: Home | Blogcrowds | Gecko and Fly | About

Bila Kubangan jadi Kolam Gurame


Penyelamatan lingkungan yang beriringan dengan pemberdayaan lahan sehingga bernilai ekonomis, berbuah Kalpataru

Gubuk – gubuk bambu beratap rapak (daun tebu kering) bertebaran di kanan – kiri jalan yang membelah hamparan persawahan menuju desa Jambidan. Sejak puluhan tahun lalu, pemilik tobong dan ratusan pekerja pencetak batu bata ini menggantungkan hidupnya dari gubuk yang lazim disebut tobong bata (tungku batubata) itu.
Di dekat gubuk – gubuk itu, lubang galian tanah menganga, kontras dengan hijaunya persawahan sekitar. Saat penghujan, lubang-lubang galian itu berubah menjadi kubangan yang membahayakan warga. Jika kemarau tiba, galian itu menambah ‘panas’ suasana, karena merusak pandangan mata dan tak ada tumbuhan yang menutupinya.
Keadaan ini bertahan sampai 12 tahun lalu, hingga mengundang keprihatinan Suharsono, aktivis pertanian dan perikanan desa itu. Ia berpikir keras, agar galian menganga itu produktif kembali. Menimbunnya jelas tak mungkin, apalagi mengubahnya kembali menjadi lahan sawah. “Saat kemarau memang bisa ditanami padi, karena daerah ini mendapat irigasi sepanjang tahun. Tapi saat penghujan, pasti tergenang bahkan tenggelam. Air di dalamnya sulit dibuang, posisi dasar galian lebih rendah dari saluran air,” tutur Suharsono saat ditemui TROBOS.
Sampai akhir 1980-an, separuh warga kampungnya bergantung pada tobong batu bata ini. Mereka ikut-ikutan karena banyak warga yang sukses dari batu bata. “Ada yang bisa menyekolahkan anak hingga akhirnya sukses di perantauan, banyak yang akhirnya bisa membeli truk hingga bisa alih profesi, bahkan beberapa orang menjadi pemborong bangunan,” tuturnya. Ini membuat semakin sulit menghentikan keberlanjutan penggalian, bahkan hingga hari ini.

Menebari Gurame
Akhirnya, pada 1996 Harsono menemukan akal, kubangan menganga itu akan ia sulap menjadi kolam ikan. Ide ini pas dengan potensi pengairan setempat yang nyaris tak henti mendapatkan suplai air sepanjang tahun. Tak ingin berdebat panjang dengan menawarkan ide kepada orang lain, ia bergerak sendiri dengan menyewa sepetak tanah bekas galian. “Sewanya murah sekali. Sekarang juga masih murah, Rp 1000/m2/tahun,” ceritanya. Setelah dirapikan, kubangan itu ditebarinya dengan ikan tombro (mas) dan nila. “Aneka ikan pokoknya,” kata ‘wong ndeso’ yang menggeluti mina padi sejak 1969 ini. Melihat panenan Harsono, beberapa orang mulai meniru langkahnya menyulap kubangan menjadi kolam ikan.
Tak langsung puas dengan hasil panenannya, Harsono mencari komoditas ikan yang paling tepat untuk kondisi kubangan yang airnya menggenang dan cenderung sulit bersirkulasi ini. “Dari cari-cari informasi, rupanya gurame lah yang paling tepat. Karena sifatnya yang suka hidup di air tenang dan justru kurang tahan di air yang mengalir,” paparnya. Waktu itu, ia memelihara secara ekstensif, kepadatan 5 ekor /m3 dan hanya menggunakan pakan alami daun senthe dan kangkung.
Sembari berbincang ia menunjukkan kolam pemancingan terpadu dengan warung masakan ikan miliknya yang bekas galian batu-bata. “Karena untuk pemancingan, kolam ini saya bangun agar lebih pantas. Saya satukan dengan warung agar yang ingin hasil pancingannya langsung dimasak ataupun ingin jajan tidak perlu repot keluar,” tutur Harsono.

0 komentar:

Posting Komentar